PAPER HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
(Analisis Kritis Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Penyelenggaraan Rumah Kos : Tinjauan Hukum Administrasi Negara)
Hendra Sukmana, S.A.P., M.KP.
Disusun
Oleh :
Mayyasya
Tian Ramadyanti (242020100011)
(Kelas B2/ RPL Semester 2)
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS BISNIS, HUKUM, DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SIDOARJO
2025
PENDAHULUAN
Kemajuan suatu wilayah di Indonesia tidak terlepas dari
berbagai faktor, salah satunya adalah sektor industri. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, industri merupakan kegiatan mengolah atau memproses barang
dengan menggunakan sarana dan peralatan seperti mesin. Industri berperan
penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan transformasi wilayah. Ketika
sebuah kota atau kabupaten mengalami perkembangan pesat, wilayah tersebut dapat
bertransformasi menjadi kawasan metropolitan. Istilah "metropolitan"
merujuk pada kawasan perkotaan yang luas, padat penduduk, serta memiliki
aktivitas ekonomi dan sosial yang kompleks. Secara etimologis, istilah ini
berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu meter yang berarti "ibu" dan
polis yang berarti "kota" (Wackerman, 2000).
Kabupaten Sidoarjo merupakan contoh nyata dari
transformasi tersebut. Letaknya yang strategis, berbatasan langsung dengan Kota
Surabaya dan dilalui oleh jalan raya kelas I, menjadikan Sidoarjo sebagai pintu
gerbang utama menuju Surabaya. Kabupaten-kabupaten di sekitarnya, seperti
Mojokerto, Malang, dan Pasuruan, harus melewati Sidoarjo untuk mencapai
Surabaya. Kondisi ini memberikan peluang besar bagi Sidoarjo untuk berkembang
melalui peningkatan aksesibilitas yang didukung oleh sarana dan prasarana transportasi
serta komunikasi.
Transformasi Sidoarjo dari kawasan agraris menjadi kawasan urban-industrial yang dinamis didorong oleh pesatnya urbanisasi dan pertumbuhan industri. Kawasan industri seperti Rungkut, Waru, dan Porong telah menjadikan Sidoarjo sebagai magnet bagi tenaga kerja dan pelajar dari berbagai daerah. Perpindahan penduduk ini turut mendorong meningkatnya kebutuhan akan hunian sementara, khususnya rumah kos, yang menawarkan tempat tinggal fleksibel dan terjangkau. Rumah kos pun tumbuh subur di sejumlah kecamatan seperti Waru, Taman, Gedangan, dan Sidoarjo Kota. Namun demikian, perkembangan yang tidak terkontrol menimbulkan berbagai persoalan, mulai dari gangguan ketertiban umum, konflik sosial antara pendatang dan warga lokal, penyalahgunaan rumah kos untuk aktivitas menyimpang dari norma sosial, hingga kesulitan pemerintah dalam mengawasi penduduk non-permanen. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Sidoarjo sebagai berikut:
Tahun |
Jumlah Penduduk |
Laju Pertumbuhan Penduduk (%) |
2014 |
2.150.482 |
1,60 |
2015 |
2.183.682 |
1,54 |
2016 |
2.216.000 |
1,48 |
2017 |
2.248.000 |
1,44 |
2018 |
2.280.000 |
1,42 |
2019 |
2.312.000 |
1,40 |
2020 |
2.344.000 |
1,38 |
2021 |
2.376.000 |
1,36 |
2022 |
2.408.000 |
1,35 |
2023 |
2.440.000 |
1,32 |
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), 2025
Meskipun angka ini menunjukkan penurunan dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya, pertumbuhan ini tetap signifikan dan mencerminkan
dinamika sosial serta ekonomi yang terjadi di wilayah tersebut. Pertumbuhan
penduduk yang tinggi ini menuntut perencanaan dan pengelolaan yang tepat agar
pembangunan dapat berjalan secara berkelanjutan dan tidak menimbulkan
permasalahan sosial di kemudian hari. Di sisi lain, secara fiskal, keberadaan
rumah kos sebenarnya memiliki potensi untuk berkontribusi terhadap peningkatan
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan tingginya permintaan sewa, usaha rumah kos
dapat dikategorikan sebagai kegiatan ekonomi informal yang memiliki nilai
ekonomi cukup besar. Namun, karena tidak semua rumah kos memiliki izin resmi
dan tidak terdata dalam sistem perizinan daerah, potensi penerimaan pajak
maupun retribusi daerah dari sektor ini menjadi tidak optimal. Kelemahan dalam
sistem perizinan dan pengawasan ini membuat banyak rumah kos beroperasi tanpa
mekanisme yang akuntabel serta tanpa memberikan kontribusi legal terhadap
keuangan daerah.
Menyadari pentingnya regulasi dalam menata
penyelenggaraan rumah kos, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo kemudian menetapkan Peraturan
Daerah Nomor 2 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Rumah Kos. Perda ini
hadir sebagai bentuk intervensi hukum yang bertujuan untuk menertibkan usaha
rumah kos melalui pendekatan administrasi, sosial, dan moral. Di satu sisi,
perda ini berusaha menjaga ketertiban dan keharmonisan masyarakat lokal di
tengah derasnya arus urbanisasi; di sisi lain, perda ini juga berupaya menggali
potensi fiskal dari sektor rumah kos melalui mekanisme perizinan yang lebih
tertib dan terukur.
Dengan adanya perda ini, setiap pemilik usaha rumah kos
yang memiliki minimal 10 kamar diwajibkan untuk mengurus perizinan kepada
pemerintah daerah. Selain itu, perda ini juga mengatur hak dan kewajiban
penyewa dan pemilik kos, termasuk pelaporan administrasi kependudukan,
penyediaan fasilitas standar, serta larangan terhadap aktivitas yang melanggar
norma hukum dan sosial. Di sisi fiskal, regulasi ini diharapkan dapat menjadi
dasar hukum bagi pengenaan retribusi atau pungutan daerah yang sah, sehingga berkontribusi
pada peningkatan PAD dan pembiayaan pembangunan daerah.
Dengan latar belakang tersebut, analisis terhadap
implementasi perda ini menjadi penting, tidak hanya untuk mengukur efektivitas
kebijakan, tetapi juga untuk mengidentifikasi tantangan dalam penerapan hukum
administrasi negara di tingkat daerah dalam konteks urbanisasi dan tata kelola
pemerintahan yang responsif terhadap dinamika lokal.
Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Rumah Kos merupakan kebijakan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dalam merespons meningkatnya kebutuhan tempat tinggal sementara bagi pendatang, terutama pekerja dan pelajar/mahasiswa. Dalam perspektif Hukum Administrasi Negara, perda ini berupa norma yang bersifat umum dan mengikat publik secara luas. Namun efektivitas dari sebuah peraturan tidak hanya terletak pada produk hukumnya, melainkan pada sejauh mana kebijakan itu dapat diimplementasikan dengan baik. Untuk melihat sejauh mana implementasi perda ini, berikut disajikan data rumah kos yang terdaftar pada OSS di Kabupaten Sidoarjo sejak 4 Agustus 2021 (OSS mulai diterapkan).
Nama Kecamatan |
2021 |
2022 |
2023 |
2024 |
2025 |
Sidoarjo |
14 |
41 |
47 |
54 |
21 |
Buduran |
2 |
11 |
24 |
33 |
15 |
Gedangan |
7 |
16 |
35 |
42 |
18 |
Waru |
4 |
41 |
61 |
77 |
34 |
Sedati |
6 |
17 |
38 |
39 |
16 |
Taman |
4 |
16 |
37 |
62 |
19 |
Krian |
1 |
16 |
18 |
34 |
9 |
Balongbendo |
|
4 |
7 |
5 |
3 |
Prambon |
|
|
2 |
1 |
|
Candi |
2 |
11 |
20 |
22 |
8 |
Tanggulangin |
|
3 |
3 |
1 |
2 |
Porong |
|
|
1 |
1 |
|
Krembung |
|
|
2 |
4 |
|
Jabon |
|
|
|
3 |
1 |
Wonoayu |
|
1 |
6 |
5 |
|
Sukodono |
1 |
9 |
14 |
27 |
24 |
Tulangan |
|
3 |
2 |
3 |
1 |
Tarik |
|
|
2 |
6 |
2 |
Sumber : DPMPTSP Sidoarjo, 2025
Model implementasi kebijakan dari Van Meter dan Van Horn
(1975) menjelaskan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan sangat ditentukan
oleh enam variabel utama: (1) standar dan sasaran kebijakan, (2) sumber daya,
(3) komunikasi antar organisasi pelaksana, (4) karakteristik agen pelaksana,
(5) kondisi sosial, ekonomi, dan politik, serta (6) disposisi atau sikap para
pelaksana kebijakan. Dengan menggunakan model ini, kita dapat mengevaluasi
implementasi Perda Nomor 2 Tahun 2018 secara komprehensif.
PEMBAHASAN
1. Standar dan Sasaran Kebijakan
Dalam mengukur keberhasilan pelaksanaan suatu kebijakan,
salah satu hal penting yang perlu diperhatikan adalah standar dan prosedur yang
digunakan. Jika prosedur yang diterapkan terlalu rumit, maka pelaksanaan
kebijakan akan sulit berjalan dengan baik. Sebaliknya, jika prosedurnya jelas
dan mudah diikuti, peluang keberhasilan kebijakan tersebut akan lebih besar.
Pemerintah daerah, melalui Dinas Penanaman Modal dan PTSP, telah membuat
standar prosedur yang tercantum dalam Peraturan Daerah (Perda) tentang
Penyelenggaraan Rumah Kos. Prosedur ini melibatkan berbagai pihak, seperti
penghuni kos, pemilik kos, ketua RT, dan pemerintah desa, agar mereka dapat
bekerja sama dalam menjalankan kebijakan rumah kos.
Selain standar, tujuan kebijakan juga sangat penting
untuk mendukung keberhasilan implementasi. Tujuan kebijakan memberikan gambaran
tentang hasil yang ingin dicapai setelah kebijakan dijalankan. Dalam kebijakan
rumah kos ini, tujuannya adalah untuk mengatur pertumbuhan rumah kos yang
semakin banyak, agar tidak hanya menguntungkan pihak tertentu saja. Selain itu,
kebijakan ini juga bertujuan mengatur hak dan kewajiban pemilik dan penghuni
kos, serta masyarakat sekitar yang terdampak. Dengan tujuan yang jelas, semua
pihak yang terlibat dapat lebih mudah memahami dan melaksanakan kebijakan ini,
termasuk menjaga keamanan dan ketertiban, baik secara sosial maupun
administratif.
Perda Nomor 2 Tahun 2018 sudah mengatur standar dan
sasaran kebijakan secara rinci. Misalnya, ada aturan bahwa rumah kos dengan
minimal 10 kamar harus memiliki izin, pemilik kos wajib membuat tata tertib
tertulis, serta larangan menerima tamu lawan jenis dalam satu kamar. Tujuan
utama dari perda ini, seperti yang tertulis dalam Pasal 3, adalah menjaga
ketertiban sosial, mengatur arus pendatang, dan menjamin keamanan lingkungan.
Jika dilihat dari teori Van Meter dan Van Horn, perda ini sudah memenuhi indikator
kejelasan tujuan karena harapan terhadap setiap pihak yang terlibat sudah
diatur secara detail.
Namun, dalam pelaksanaannya masih ada beberapa masalah.
Salah satunya adalah aturan tentang rumah kos minimal 10 kamar, yang
menyebabkan rumah kos dengan jumlah kamar di bawah itu tidak terkena regulasi.
Akibatnya, banyak rumah kos kecil yang tidak terkontrol dan tetap menimbulkan
dampak sosial, meskipun tidak memiliki izin resmi. Hal ini menunjukkan bahwa
masih ada celah dalam standar implementasi di lapangan yang perlu diperbaiki
agar tujuan kebijakan benar-benar tercapai.
2. Sumber Daya
Dalam analisis sumber daya yang dibutuhkan untuk
mengimplementasikan kebijakan Penyelenggaraan Rumah Kos berdasarkan Perda Nomor
2 Tahun 2018, menurut teori Van Meter dan Van Horn, sumber daya utama meliputi
sumber daya manusia, sumber daya finansial, dan fasilitas pendukung.
Pertama, sumber daya manusia yang tersedia untuk
pelaksanaan kebijakan ini masih terbatas, terutama di Dinas Penanaman Modal dan
PTSP Kabupaten Sidoarjo, yang berperan sebagai pelaksana utama. Keterbatasan
ini berdampak pada efektivitas pengelolaan dan pengawasan kebijakan di
lapangan. Selain itu, kualitas dan kemampuan ketua RT sebagai ujung tombak di
tingkat desa juga tidak merata, padahal mereka berperan penting sebagai
pengawas dan agen sosialisasi kebijakan kepada pemilik dan penghuni rumah kos.
Kedua, sumber dana yang digunakan berasal dari APBD
Kabupaten Sidoarjo, yang dikelola oleh Dinas Penanaman Modal dan PTSP. Dana ini
digunakan untuk pengelolaan sistem perizinan online (sippadu) dan pelayanan
tatap muka di Mall Pelayanan Publik. Selain itu, pemerintah juga memperoleh
Pendapatan Asli Daerah dari retribusi perizinan rumah kos. Namun, dalam Perda
tidak ada alokasi anggaran khusus yang eksplisit untuk pengawasan atau insentif
bagi pengusaha rumah kos yang taat aturan, sehingga dukungan finansial untuk
pengawasan dan sosialisasi masih kurang memadai.
Ketiga, fasilitas yang disediakan sudah cukup memadai,
terutama dengan adanya sistem perizinan online yang memudahkan proses pengajuan
izin sesuai dengan program e-governance pemerintah pusat. Namun, meskipun
fasilitas ini ada, pengawasan di lapangan masih lemah karena keterbatasan SDM
dan anggaran pengawasan. Data menunjukkan bahwa meskipun sistem OSS sudah
diterapkan sejak 2021, jumlah rumah kos yang mengurus izin masih sangat sedikit
dibandingkan dengan pertumbuhan rumah kos di Sidoarjo, menandakan rendahnya
efektivitas pengawasan dan sosialisasi di lapangan.
Secara keseluruhan, meskipun Perda No. 2 Tahun 2018 telah
mengatur sumber daya yang diperlukan, kenyataannya masih terdapat kekurangan
terutama pada aspek sumber daya manusia dan dukungan anggaran untuk pengawasan.
Hal ini menjadi hambatan utama dalam mencapai implementasi kebijakan yang
efektif dan menyeluruh
3. Komunikasi Antar Badan Pelaksana
Koordinasi dan komunikasi antar badan pelaksana merupakan
aspek krusial dalam implementasi kebijakan Penyelenggaraan Rumah Kos sesuai
Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2018. Idealnya, komunikasi yang efektif harus
terjalin antara Dinas Penanaman Modal dan PTSP dengan Pemerintah Desa serta
Ketua RT, karena mereka adalah aktor utama yang berperan langsung dalam
pelaksanaan dan pengawasan kebijakan ini. Namun, kenyataannya di lapangan
komunikasi tersebut tidak berjalan dengan baik meskipun Dinas Penanaman Modal dan
PTSP mengaku telah mengirim surat kepada Pemerintah Desa. Ketidakefektifan
komunikasi ini menghambat proses implementasi dan evaluasi kebijakan, karena
koordinasi yang lemah membuat informasi dan instruksi tidak tersampaikan secara
konsisten.
Dalam Perda No. 2 Tahun 2018, pengawasan rumah kos
melibatkan berbagai pihak mulai dari Bupati, Dinas PTSP, Satpol PP, Lurah,
RT/RW, hingga masyarakat. Namun, dalam praktiknya terjadi disfungsi koordinasi
antar lembaga tersebut. Contohnya, kewajiban pengusaha kos untuk melaporkan
penyewa kepada RT atau Lurah sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 8
sering kali tidak dilaksanakan dengan konsisten. Pelaporan ini penting untuk
menjaga ketertiban administrasi kependudukan, namun kurangnya integrasi antara
sistem OSS (Online Single Submission), sistem kependudukan di Disdukcapil, dan
aparat desa menyebabkan kesenjangan informasi yang menghambat pengawasan yang
optimal.
Selain itu, komunikasi vertikal (antara Dinas Penanaman
Modal dan PTSP dengan Pemerintah Desa dan RT) dan komunikasi horizontal (antar
lembaga pelaksana lainnya) masih bersifat insidental dan belum sistemik. Hal
ini menyebabkan kurangnya sinergi dalam penyampaian informasi, edukasi kepada
masyarakat, dan penerapan sanksi bagi pelanggar kebijakan. Akibatnya,
koordinasi yang kurang efektif ini menjadi salah satu hambatan utama dalam
pelaksanaan Perda Nomor 2 Tahun 2018 sehingga tujuan kebijakan untuk menjaga ketertiban
sosial dan keamanan lingkungan sulit tercapai secara maksimal
4. Karakteristik Agen Pelaksana
Peran dan karakteristik agen pelaksana sangat menentukan
keberhasilan implementasi kebijakan Penyelenggaraan Rumah Kos sesuai Perda
Nomor 2 Tahun 2018. Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
(DPMPTSP) Kabupaten Sidoarjo berperan sebagai agen pelaksana utama, dan peran
ini sudah diatur dengan jelas dalam Perda tersebut, sehingga DPMPTSP memahami
tugasnya dalam mengelola perizinan rumah kos secara sistematis dan memudahkan
pemohon melalui alur perizinan yang jelas dan berbasis digital seperti sistem
Sippadu.
Selain DPMPTSP, Pemerintah Desa dan Ketua RT juga
merupakan agen pelaksana yang berperan penting dalam sosialisasi dan pengawasan
kebijakan di tingkat masyarakat. Namun, kapasitas administratif dan otoritas
formal RT/RW sering kali terbatas, sehingga pelaksanaan perda terkadang
mengalami kendala, terutama ketika terjadi kompromi sosial atau ekonomi antara
RT dengan pemilik kos. Hal ini menunjukkan bahwa karakter birokrasi yang
cenderung administratif dan reaktif belum sepenuhnya mampu mengatasi dinamika
sosial yang ada di masyarakat yang masih kuat dengan budaya kekeluargaan dan
toleransi terhadap praktik informal.
Menurut teori Van Meter dan Van Horn, karakteristik agen
pelaksana mencakup struktur birokrasi, kompetensi, dan loyalitas terhadap
tujuan kebijakan. Dalam konteks ini, DPMPTSP memiliki struktur organisasi yang
lengkap dan fungsi yang jelas, termasuk perumusan kebijakan teknis,
pelaksanaan, pemantauan, serta evaluasi perizinan dan penanaman modal, yang
menunjukkan kompetensi dan komitmen dalam pelaksanaan tugasnya. Namun,
loyalitas dan kemampuan agen pelaksana di tingkat desa seperti RT/RW masih perlu
ditingkatkan agar mereka dapat menjalankan fungsi pengawasan dan sosialisasi
dengan lebih efektif.
Secara keseluruhan, karakteristik agen pelaksana dalam
kebijakan ini sudah cukup jelas dan terstruktur di tingkat dinas, tetapi masih
menghadapi tantangan di tingkat desa dan masyarakat. Penguatan kapasitas
administratif, peningkatan koordinasi, serta pendekatan sosiokultural yang
tepat menjadi kunci untuk meningkatkan efektivitas implementasi Perda Nomor 2
Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Rumah Kos
5. Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Politik
Kondisi sosial, ekonomi, dan politik di suatu daerah
sangat memengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, termasuk Peraturan
Daerah Nomor 2 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Rumah Kos di Kabupaten
Sidoarjo. Di Desa Kepuhkiriman, misalnya, kondisi sosial yang didominasi oleh
budaya Jawa yang ramah serta tingkat pendidikan dan ekonomi yang cukup
mendukung mempermudah pemahaman dan penerimaan masyarakat terhadap kebijakan
ini. Meskipun demikian, masih ada sebagian penghuni rumah kos yang belum
memahami atau mengurus perizinan sesuai Perda tersebut, sehingga menghambat
implementasi secara menyeluruh.
Masyarakat sebagai agen pelaksana memiliki peran penting
dalam mendukung keberhasilan kebijakan. Sikap masyarakat yang umumnya mendukung
kebijakan ini membantu kelancaran pelaksanaan, namun kurangnya kesadaran dan
pemahaman sebagian warga menjadi tantangan. Selain itu, keterlibatan penegak
hukum seperti polisi setempat hanya terjadi saat ada masalah serius yang tidak
bisa diselesaikan secara kekeluargaan oleh Ketua RT, sesuai ketentuan Perda.
Dari perspektif konteks sosial dan ekonomi, Kabupaten
Sidoarjo sebagai daerah urban dengan banyak kawasan industri dan kampus
menjadikan rumah kos sebagai kebutuhan vital bagi pekerja dan
mahasiswa. Namun, Perda ini cenderung menekankan aspek kontrol moral dan
administratif, seperti larangan menerima tamu lawan jenis dan kewajiban
pelaporan penyewa setiap 1x24 jam, yang sulit diterapkan di masyarakat urban
yang kompleks dan dinamis. Larangan dan aturan ketat tersebut bisa menimbulkan
resistensi jika tidak disertai edukasi dan stimulus ekonomi yang memadai.
Selain itu, banyak rumah kos menjadi sumber penghasilan
utama warga, sehingga kebijakan yang terlalu ketat tanpa mempertimbangkan
dinamika ekonomi lokal berpotensi menimbulkan kepatuhan semu atau bahkan
penolakan. Oleh karena itu, implementasi kebijakan ini perlu lebih adaptif
dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat agar dapat diterima dan berjalan
efektif tanpa menimbulkan konflik sosial.
Secara keseluruhan, keberhasilan implementasi Perda No. 2
Tahun 2018 sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya yang mendukung,
kesadaran masyarakat, serta keseimbangan antara pengaturan administratif dan
kebutuhan ekonomi lokal. Pendekatan yang lebih inklusif dan edukatif diperlukan
agar kebijakan ini dapat berjalan optimal di tengah kompleksitas masyarakat
urban di Kabupaten Sidoarjo.
6. Sikap atau Disposisi Pelaksana
Sikap atau disposisi pelaksana merupakan faktor penting
yang memengaruhi efektivitas implementasi kebijakan Penyelenggaraan Rumah Kos
sesuai Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2018. Dari hasil penelitian di lapangan,
Dinas Penanaman Modal dan PTSP Kabupaten Sidoarjo menunjukkan sikap yang sangat
mendukung kebijakan ini. Hal ini dibuktikan dengan pemahaman yang baik terhadap
isi Perda serta upaya mereka dalam memberikan pelayanan yang baik dan
memudahkan proses perizinan bagi pemohon. Dinas ini juga aktif melakukan
sosialisasi dan menyediakan sistem perizinan online melalui website Sippadu
untuk mendukung kelancaran implementasi kebijakan.
Namun, sikap pelaksana di tingkat RT/RW berbeda. Banyak
pelaksana di tingkat ini merasa bahwa Perda bersifat represif dan menambah
beban administratif, sehingga mereka cenderung pasif dalam menegakkan aturan.
Kesenjangan antara pemahaman terhadap perda dan keinginan untuk melaksanakannya
cukup nyata di lapangan. Selain itu, tidak adanya sistem penghargaan atau
insentif bagi pelaksana perda membuat komitmen mereka relatif rendah, yang pada
akhirnya menghambat proses implementasi secara menyeluruh.
Dengan demikian, meskipun Dinas Penanaman Modal dan PTSP
memiliki disposisi positif dan komitmen tinggi terhadap kebijakan, sikap kurang
mendukung dari pelaksana di tingkat bawah menjadi salah satu kendala utama.
Untuk meningkatkan efektivitas implementasi, diperlukan upaya memperbaiki
motivasi dan memberikan insentif kepada pelaksana di tingkat desa agar mereka
lebih aktif dan berkomitmen dalam menjalankan Perda Nomor 2 Tahun 2018 tentang
Penyelenggaraan Rumah Kos
Kelebihan dan Kelemahan Peraturan Daerah Kabupaten
Sidoarjo Nomor 2 Tahun 2018
Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 2 Tahun 2018
tentang Penyelenggaraan Rumah Kos memiliki sejumlah kelebihan yang patut
diapresiasi. Secara yuridis, perda ini memiliki dasar hukum yang kuat dan
menyeluruh, mulai dari UUD 1945 hingga undang-undang sektoral yang relevan,
menunjukkan konsistensi vertikal yang kokoh. Selain itu, perda ini mengatur hak
dan kewajiban secara rinci bagi tiga aktor utama pengusaha rumah kos, penyewa,
dan masyarakat sekitar dengan menekankan pelaporan, ketertiban, dan partisipasi
aktif. Pendekatan asas yang digunakan pun sarat nilai sosial lokal seperti
kekeluargaan, kesusilaan, dan keseimbangan, yang selaras dengan budaya
masyarakat Sidoarjo. Lebih jauh, keberadaan pasal yang membuka ruang
partisipasi masyarakat serta mekanisme sanksi administratif yang bertingkat
menunjukkan bahwa perda ini berusaha menciptakan tatanan yang tertib tanpa
langsung bersifat represif, melainkan adaptif.
Namun demikian, perda ini juga memiliki sejumlah
kelemahan substansial. Salah satunya adalah tidak adanya penjabaran teknis
mengenai standar kelayakan rumah kos, baik dari sisi sanitasi, pencahayaan,
maupun fasilitas minimum lainnya. Selain itu, mekanisme pengawasan masih
terpusat pada peran formal pemerintah dan laporan masyarakat, tanpa skema
kolaboratif yang memperkuat peran RT/RW sebagai garda terdepan. Di sisi lain,
perda ini belum adaptif terhadap inovasi digital seperti pelaporan online atau
sistem database kependudukan berbasis aplikasi. Ketentuan perizinan juga
terlalu longgar karena hanya mewajibkan izin bagi rumah kos dengan minimal 10
kamar, sehingga banyak rumah kos kecil beroperasi tanpa kontrol formal.
Terakhir, meskipun terdapat ketentuan sanksi administratif, perda ini tidak
menjelaskan indikator atau prosedur penerapan sanksi secara rinci, yang
berpotensi membuka celah bagi ketidakkonsistenan dalam penegakan aturan.
Kesimpulan dan Saran
Dalam kaca mata Hukum Administrasi Negara dan teori
implementasi kebijakan Van Meter & Van Horn, Perda No. 2 Tahun 2018 telah
memenuhi syarat formil sebagai regulasi publik. Namun dalam implementasinya,
masih menghadapi tantangan pada aspek sumber daya, koordinasi, dan sikap
pelaksana. Perlu evaluasi ulang terhadap desain kebijakan, terutama dalam hal
pemberdayaan masyarakat, fleksibilitas aturan terhadap realitas lokal, serta
penguatan peran institusi pengawas. Rekomendasi utama untuk perbaikan Perda
Kabupaten Sidoarjo Nomor 2 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Rumah Kos
menekankan pentingnya penyempurnaan regulasi agar lebih inklusif, efektif, dan
berkeadilan. Pertama, batasan minimal 10 kamar perlu ditinjau ulang dan
diperluas cakupannya agar seluruh jenis rumah kos, termasuk skala kecil, dapat
terakomodasi dalam pengaturan hukum, mengingat potensi dampak sosial tidak
hanya berasal dari kos berkapasitas besar. Kedua, pengawasan perlu diperkuat
dengan koordinasi lintas Organisasi Perangkat Daerah (OPD) melalui pengembangan
sistem digital yang terintegrasi, sehingga pelaksanaan dan pemantauan perda
dapat berjalan lebih sistematis dan efisien. Ketiga, penting untuk memberikan
insentif atau penghargaan bagi pemilik rumah kos yang mematuhi ketentuan,
sebagai bentuk motivasi positif yang dapat mendorong kesadaran hukum secara
sukarela. Terakhir, Perda ini juga perlu dilengkapi dengan pendekatan edukatif
dalam pembinaan, tidak hanya bersifat represif, agar masyarakat dapat memahami
dan menerima regulasi secara lebih partisipatif dan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Van Meter, D. S., & Van Horn, C. E. (1975). The Policy Implementation Process, 6(4), 445–488. https://doi.org/10.1177/009539977500600404.
Agustino, Leo. (2008). Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.
Pemerintah Kabupaten Sidoarjo. (2018). Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Rumah Kos. https://peraturan.bpk.go.id/Details/121893/perda-kab-sidoarjo-no-2-tahun-2018. Diakses pada tanggal 12 Mei 2025.
Kementerian Investasi / BKPM. (2021). Data Perizinan Usaha Rumah Kos Kabupaten Sidoarjo melalui Sistem OSS. https://oss.go.id/. Diakses pada tanggal 12 Mei 2025.
Wiseman, B., & Wildavsky, A. (1973). Implementation: How Great Expectations in Washington are Dashed in Oakland. University of California. http://www.ucpress.edu/.
Kementerian Hukum dan HAM. (2011). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. https://peraturan.bpk.go.id/. Diakses pada tanggal 12 Mei 2025.
Pemerintah Daerah. (2015). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah. https://peraturan.bpk.go.id/. Diakses pada tanggal 12 Mei 2025.
Badan Pusat Statistik (BPS). (2025). Statistik Penduduk Kabupaten Sidoarjo Tahun 2014–2025. https://sidoarjokab.bps.go.id/. Diakses pada tanggal 12 Mei 2025.