Senin, 12 Mei 2025

ANALISIS KRITIS PERDA DARI SEGI HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

PAPER HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

(Analisis Kritis Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Penyelenggaraan Rumah Kos : Tinjauan Hukum Administrasi Negara)


Dosen Pembimbing :

Hendra Sukmana, S.A.P., M.KP.

Disusun Oleh :

Mayyasya Tian Ramadyanti (242020100011)

(Kelas B2/ RPL Semester 2)

 

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS BISNIS, HUKUM, DAN ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SIDOARJO

2025


PENDAHULUAN

Kemajuan suatu wilayah di Indonesia tidak terlepas dari berbagai faktor, salah satunya adalah sektor industri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, industri merupakan kegiatan mengolah atau memproses barang dengan menggunakan sarana dan peralatan seperti mesin. Industri berperan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan transformasi wilayah. Ketika sebuah kota atau kabupaten mengalami perkembangan pesat, wilayah tersebut dapat bertransformasi menjadi kawasan metropolitan. Istilah "metropolitan" merujuk pada kawasan perkotaan yang luas, padat penduduk, serta memiliki aktivitas ekonomi dan sosial yang kompleks. Secara etimologis, istilah ini berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu meter yang berarti "ibu" dan polis yang berarti "kota" (Wackerman, 2000).

Kabupaten Sidoarjo merupakan contoh nyata dari transformasi tersebut. Letaknya yang strategis, berbatasan langsung dengan Kota Surabaya dan dilalui oleh jalan raya kelas I, menjadikan Sidoarjo sebagai pintu gerbang utama menuju Surabaya. Kabupaten-kabupaten di sekitarnya, seperti Mojokerto, Malang, dan Pasuruan, harus melewati Sidoarjo untuk mencapai Surabaya. Kondisi ini memberikan peluang besar bagi Sidoarjo untuk berkembang melalui peningkatan aksesibilitas yang didukung oleh sarana dan prasarana transportasi serta komunikasi.

Transformasi Sidoarjo dari kawasan agraris menjadi kawasan urban-industrial yang dinamis didorong oleh pesatnya urbanisasi dan pertumbuhan industri. Kawasan industri seperti Rungkut, Waru, dan Porong telah menjadikan Sidoarjo sebagai magnet bagi tenaga kerja dan pelajar dari berbagai daerah. Perpindahan penduduk ini turut mendorong meningkatnya kebutuhan akan hunian sementara, khususnya rumah kos, yang menawarkan tempat tinggal fleksibel dan terjangkau. Rumah kos pun tumbuh subur di sejumlah kecamatan seperti Waru, Taman, Gedangan, dan Sidoarjo Kota. Namun demikian, perkembangan yang tidak terkontrol menimbulkan berbagai persoalan, mulai dari gangguan ketertiban umum, konflik sosial antara pendatang dan warga lokal, penyalahgunaan rumah kos untuk aktivitas menyimpang dari norma sosial, hingga kesulitan pemerintah dalam mengawasi penduduk non-permanen. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Sidoarjo sebagai berikut:

Tahun

Jumlah Penduduk

Laju Pertumbuhan Penduduk (%)

2014

2.150.482

1,60

2015

2.183.682

1,54

2016

2.216.000

1,48

2017

2.248.000

1,44

2018

2.280.000

1,42

2019

2.312.000

1,40

2020

2.344.000

1,38

2021

2.376.000

1,36

2022

2.408.000

1,35

2023

2.440.000

1,32

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), 2025

Meskipun angka ini menunjukkan penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, pertumbuhan ini tetap signifikan dan mencerminkan dinamika sosial serta ekonomi yang terjadi di wilayah tersebut. Pertumbuhan penduduk yang tinggi ini menuntut perencanaan dan pengelolaan yang tepat agar pembangunan dapat berjalan secara berkelanjutan dan tidak menimbulkan permasalahan sosial di kemudian hari. Di sisi lain, secara fiskal, keberadaan rumah kos sebenarnya memiliki potensi untuk berkontribusi terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan tingginya permintaan sewa, usaha rumah kos dapat dikategorikan sebagai kegiatan ekonomi informal yang memiliki nilai ekonomi cukup besar. Namun, karena tidak semua rumah kos memiliki izin resmi dan tidak terdata dalam sistem perizinan daerah, potensi penerimaan pajak maupun retribusi daerah dari sektor ini menjadi tidak optimal. Kelemahan dalam sistem perizinan dan pengawasan ini membuat banyak rumah kos beroperasi tanpa mekanisme yang akuntabel serta tanpa memberikan kontribusi legal terhadap keuangan daerah.

Menyadari pentingnya regulasi dalam menata penyelenggaraan rumah kos, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo kemudian menetapkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Rumah Kos. Perda ini hadir sebagai bentuk intervensi hukum yang bertujuan untuk menertibkan usaha rumah kos melalui pendekatan administrasi, sosial, dan moral. Di satu sisi, perda ini berusaha menjaga ketertiban dan keharmonisan masyarakat lokal di tengah derasnya arus urbanisasi; di sisi lain, perda ini juga berupaya menggali potensi fiskal dari sektor rumah kos melalui mekanisme perizinan yang lebih tertib dan terukur.

Dengan adanya perda ini, setiap pemilik usaha rumah kos yang memiliki minimal 10 kamar diwajibkan untuk mengurus perizinan kepada pemerintah daerah. Selain itu, perda ini juga mengatur hak dan kewajiban penyewa dan pemilik kos, termasuk pelaporan administrasi kependudukan, penyediaan fasilitas standar, serta larangan terhadap aktivitas yang melanggar norma hukum dan sosial. Di sisi fiskal, regulasi ini diharapkan dapat menjadi dasar hukum bagi pengenaan retribusi atau pungutan daerah yang sah, sehingga berkontribusi pada peningkatan PAD dan pembiayaan pembangunan daerah.

Dengan latar belakang tersebut, analisis terhadap implementasi perda ini menjadi penting, tidak hanya untuk mengukur efektivitas kebijakan, tetapi juga untuk mengidentifikasi tantangan dalam penerapan hukum administrasi negara di tingkat daerah dalam konteks urbanisasi dan tata kelola pemerintahan yang responsif terhadap dinamika lokal.

Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Rumah Kos merupakan kebijakan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dalam merespons meningkatnya kebutuhan tempat tinggal sementara bagi pendatang, terutama pekerja dan pelajar/mahasiswa. Dalam perspektif Hukum Administrasi Negara, perda ini berupa norma yang bersifat umum dan mengikat publik secara luas. Namun efektivitas dari sebuah peraturan tidak hanya terletak pada produk hukumnya, melainkan pada sejauh mana kebijakan itu dapat diimplementasikan dengan baik. Untuk melihat sejauh mana implementasi perda ini, berikut disajikan data rumah kos yang terdaftar pada OSS di Kabupaten Sidoarjo sejak 4 Agustus 2021 (OSS mulai diterapkan).

Nama Kecamatan

2021

2022

2023

2024

2025

Sidoarjo

14

41

47

54

21

Buduran

2

11

24

33

15

Gedangan

7

16

35

42

18

Waru

4

41

61

77

34

Sedati

6

17

38

39

16

Taman

4

16

37

62

19

Krian

1

16

18

34

9

Balongbendo


4

7

5

3

Prambon

 

 

2

1

 

Candi

2

11

20

22

8

Tanggulangin

 

3

3

1

2

Porong

 

 

1

1

 

Krembung

 

 

2

4

 

Jabon

 

 

 

3

1

Wonoayu

 

1

6

5

 

Sukodono

1

9

14

27

24

Tulangan

 

3

2

3

1

Tarik

 

 

2

6

2

Sumber : DPMPTSP Sidoarjo, 2025

Model implementasi kebijakan dari Van Meter dan Van Horn (1975) menjelaskan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan sangat ditentukan oleh enam variabel utama: (1) standar dan sasaran kebijakan, (2) sumber daya, (3) komunikasi antar organisasi pelaksana, (4) karakteristik agen pelaksana, (5) kondisi sosial, ekonomi, dan politik, serta (6) disposisi atau sikap para pelaksana kebijakan. Dengan menggunakan model ini, kita dapat mengevaluasi implementasi Perda Nomor 2 Tahun 2018 secara komprehensif.

PEMBAHASAN

1. Standar dan Sasaran Kebijakan

Dalam mengukur keberhasilan pelaksanaan suatu kebijakan, salah satu hal penting yang perlu diperhatikan adalah standar dan prosedur yang digunakan. Jika prosedur yang diterapkan terlalu rumit, maka pelaksanaan kebijakan akan sulit berjalan dengan baik. Sebaliknya, jika prosedurnya jelas dan mudah diikuti, peluang keberhasilan kebijakan tersebut akan lebih besar. Pemerintah daerah, melalui Dinas Penanaman Modal dan PTSP, telah membuat standar prosedur yang tercantum dalam Peraturan Daerah (Perda) tentang Penyelenggaraan Rumah Kos. Prosedur ini melibatkan berbagai pihak, seperti penghuni kos, pemilik kos, ketua RT, dan pemerintah desa, agar mereka dapat bekerja sama dalam menjalankan kebijakan rumah kos.

Selain standar, tujuan kebijakan juga sangat penting untuk mendukung keberhasilan implementasi. Tujuan kebijakan memberikan gambaran tentang hasil yang ingin dicapai setelah kebijakan dijalankan. Dalam kebijakan rumah kos ini, tujuannya adalah untuk mengatur pertumbuhan rumah kos yang semakin banyak, agar tidak hanya menguntungkan pihak tertentu saja. Selain itu, kebijakan ini juga bertujuan mengatur hak dan kewajiban pemilik dan penghuni kos, serta masyarakat sekitar yang terdampak. Dengan tujuan yang jelas, semua pihak yang terlibat dapat lebih mudah memahami dan melaksanakan kebijakan ini, termasuk menjaga keamanan dan ketertiban, baik secara sosial maupun administratif.

Perda Nomor 2 Tahun 2018 sudah mengatur standar dan sasaran kebijakan secara rinci. Misalnya, ada aturan bahwa rumah kos dengan minimal 10 kamar harus memiliki izin, pemilik kos wajib membuat tata tertib tertulis, serta larangan menerima tamu lawan jenis dalam satu kamar. Tujuan utama dari perda ini, seperti yang tertulis dalam Pasal 3, adalah menjaga ketertiban sosial, mengatur arus pendatang, dan menjamin keamanan lingkungan. Jika dilihat dari teori Van Meter dan Van Horn, perda ini sudah memenuhi indikator kejelasan tujuan karena harapan terhadap setiap pihak yang terlibat sudah diatur secara detail.

Namun, dalam pelaksanaannya masih ada beberapa masalah. Salah satunya adalah aturan tentang rumah kos minimal 10 kamar, yang menyebabkan rumah kos dengan jumlah kamar di bawah itu tidak terkena regulasi. Akibatnya, banyak rumah kos kecil yang tidak terkontrol dan tetap menimbulkan dampak sosial, meskipun tidak memiliki izin resmi. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada celah dalam standar implementasi di lapangan yang perlu diperbaiki agar tujuan kebijakan benar-benar tercapai.

2. Sumber Daya

Dalam analisis sumber daya yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan kebijakan Penyelenggaraan Rumah Kos berdasarkan Perda Nomor 2 Tahun 2018, menurut teori Van Meter dan Van Horn, sumber daya utama meliputi sumber daya manusia, sumber daya finansial, dan fasilitas pendukung.

Pertama, sumber daya manusia yang tersedia untuk pelaksanaan kebijakan ini masih terbatas, terutama di Dinas Penanaman Modal dan PTSP Kabupaten Sidoarjo, yang berperan sebagai pelaksana utama. Keterbatasan ini berdampak pada efektivitas pengelolaan dan pengawasan kebijakan di lapangan. Selain itu, kualitas dan kemampuan ketua RT sebagai ujung tombak di tingkat desa juga tidak merata, padahal mereka berperan penting sebagai pengawas dan agen sosialisasi kebijakan kepada pemilik dan penghuni rumah kos.

Kedua, sumber dana yang digunakan berasal dari APBD Kabupaten Sidoarjo, yang dikelola oleh Dinas Penanaman Modal dan PTSP. Dana ini digunakan untuk pengelolaan sistem perizinan online (sippadu) dan pelayanan tatap muka di Mall Pelayanan Publik. Selain itu, pemerintah juga memperoleh Pendapatan Asli Daerah dari retribusi perizinan rumah kos. Namun, dalam Perda tidak ada alokasi anggaran khusus yang eksplisit untuk pengawasan atau insentif bagi pengusaha rumah kos yang taat aturan, sehingga dukungan finansial untuk pengawasan dan sosialisasi masih kurang memadai.

Ketiga, fasilitas yang disediakan sudah cukup memadai, terutama dengan adanya sistem perizinan online yang memudahkan proses pengajuan izin sesuai dengan program e-governance pemerintah pusat. Namun, meskipun fasilitas ini ada, pengawasan di lapangan masih lemah karena keterbatasan SDM dan anggaran pengawasan. Data menunjukkan bahwa meskipun sistem OSS sudah diterapkan sejak 2021, jumlah rumah kos yang mengurus izin masih sangat sedikit dibandingkan dengan pertumbuhan rumah kos di Sidoarjo, menandakan rendahnya efektivitas pengawasan dan sosialisasi di lapangan.

Secara keseluruhan, meskipun Perda No. 2 Tahun 2018 telah mengatur sumber daya yang diperlukan, kenyataannya masih terdapat kekurangan terutama pada aspek sumber daya manusia dan dukungan anggaran untuk pengawasan. Hal ini menjadi hambatan utama dalam mencapai implementasi kebijakan yang efektif dan menyeluruh

3. Komunikasi Antar Badan Pelaksana

Koordinasi dan komunikasi antar badan pelaksana merupakan aspek krusial dalam implementasi kebijakan Penyelenggaraan Rumah Kos sesuai Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2018. Idealnya, komunikasi yang efektif harus terjalin antara Dinas Penanaman Modal dan PTSP dengan Pemerintah Desa serta Ketua RT, karena mereka adalah aktor utama yang berperan langsung dalam pelaksanaan dan pengawasan kebijakan ini. Namun, kenyataannya di lapangan komunikasi tersebut tidak berjalan dengan baik meskipun Dinas Penanaman Modal dan PTSP mengaku telah mengirim surat kepada Pemerintah Desa. Ketidakefektifan komunikasi ini menghambat proses implementasi dan evaluasi kebijakan, karena koordinasi yang lemah membuat informasi dan instruksi tidak tersampaikan secara konsisten.

Dalam Perda No. 2 Tahun 2018, pengawasan rumah kos melibatkan berbagai pihak mulai dari Bupati, Dinas PTSP, Satpol PP, Lurah, RT/RW, hingga masyarakat. Namun, dalam praktiknya terjadi disfungsi koordinasi antar lembaga tersebut. Contohnya, kewajiban pengusaha kos untuk melaporkan penyewa kepada RT atau Lurah sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 8 sering kali tidak dilaksanakan dengan konsisten. Pelaporan ini penting untuk menjaga ketertiban administrasi kependudukan, namun kurangnya integrasi antara sistem OSS (Online Single Submission), sistem kependudukan di Disdukcapil, dan aparat desa menyebabkan kesenjangan informasi yang menghambat pengawasan yang optimal.

Selain itu, komunikasi vertikal (antara Dinas Penanaman Modal dan PTSP dengan Pemerintah Desa dan RT) dan komunikasi horizontal (antar lembaga pelaksana lainnya) masih bersifat insidental dan belum sistemik. Hal ini menyebabkan kurangnya sinergi dalam penyampaian informasi, edukasi kepada masyarakat, dan penerapan sanksi bagi pelanggar kebijakan. Akibatnya, koordinasi yang kurang efektif ini menjadi salah satu hambatan utama dalam pelaksanaan Perda Nomor 2 Tahun 2018 sehingga tujuan kebijakan untuk menjaga ketertiban sosial dan keamanan lingkungan sulit tercapai secara maksimal

4. Karakteristik Agen Pelaksana

Peran dan karakteristik agen pelaksana sangat menentukan keberhasilan implementasi kebijakan Penyelenggaraan Rumah Kos sesuai Perda Nomor 2 Tahun 2018. Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Sidoarjo berperan sebagai agen pelaksana utama, dan peran ini sudah diatur dengan jelas dalam Perda tersebut, sehingga DPMPTSP memahami tugasnya dalam mengelola perizinan rumah kos secara sistematis dan memudahkan pemohon melalui alur perizinan yang jelas dan berbasis digital seperti sistem Sippadu.

Selain DPMPTSP, Pemerintah Desa dan Ketua RT juga merupakan agen pelaksana yang berperan penting dalam sosialisasi dan pengawasan kebijakan di tingkat masyarakat. Namun, kapasitas administratif dan otoritas formal RT/RW sering kali terbatas, sehingga pelaksanaan perda terkadang mengalami kendala, terutama ketika terjadi kompromi sosial atau ekonomi antara RT dengan pemilik kos. Hal ini menunjukkan bahwa karakter birokrasi yang cenderung administratif dan reaktif belum sepenuhnya mampu mengatasi dinamika sosial yang ada di masyarakat yang masih kuat dengan budaya kekeluargaan dan toleransi terhadap praktik informal.

Menurut teori Van Meter dan Van Horn, karakteristik agen pelaksana mencakup struktur birokrasi, kompetensi, dan loyalitas terhadap tujuan kebijakan. Dalam konteks ini, DPMPTSP memiliki struktur organisasi yang lengkap dan fungsi yang jelas, termasuk perumusan kebijakan teknis, pelaksanaan, pemantauan, serta evaluasi perizinan dan penanaman modal, yang menunjukkan kompetensi dan komitmen dalam pelaksanaan tugasnya. Namun, loyalitas dan kemampuan agen pelaksana di tingkat desa seperti RT/RW masih perlu ditingkatkan agar mereka dapat menjalankan fungsi pengawasan dan sosialisasi dengan lebih efektif.

Secara keseluruhan, karakteristik agen pelaksana dalam kebijakan ini sudah cukup jelas dan terstruktur di tingkat dinas, tetapi masih menghadapi tantangan di tingkat desa dan masyarakat. Penguatan kapasitas administratif, peningkatan koordinasi, serta pendekatan sosiokultural yang tepat menjadi kunci untuk meningkatkan efektivitas implementasi Perda Nomor 2 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Rumah Kos

5. Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Politik

Kondisi sosial, ekonomi, dan politik di suatu daerah sangat memengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, termasuk Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Rumah Kos di Kabupaten Sidoarjo. Di Desa Kepuhkiriman, misalnya, kondisi sosial yang didominasi oleh budaya Jawa yang ramah serta tingkat pendidikan dan ekonomi yang cukup mendukung mempermudah pemahaman dan penerimaan masyarakat terhadap kebijakan ini. Meskipun demikian, masih ada sebagian penghuni rumah kos yang belum memahami atau mengurus perizinan sesuai Perda tersebut, sehingga menghambat implementasi secara menyeluruh.

Masyarakat sebagai agen pelaksana memiliki peran penting dalam mendukung keberhasilan kebijakan. Sikap masyarakat yang umumnya mendukung kebijakan ini membantu kelancaran pelaksanaan, namun kurangnya kesadaran dan pemahaman sebagian warga menjadi tantangan. Selain itu, keterlibatan penegak hukum seperti polisi setempat hanya terjadi saat ada masalah serius yang tidak bisa diselesaikan secara kekeluargaan oleh Ketua RT, sesuai ketentuan Perda.

Dari perspektif konteks sosial dan ekonomi, Kabupaten Sidoarjo sebagai daerah urban dengan banyak kawasan industri dan kampus menjadikan rumah kos sebagai kebutuhan vital bagi pekerja dan mahasiswa. Namun, Perda ini cenderung menekankan aspek kontrol moral dan administratif, seperti larangan menerima tamu lawan jenis dan kewajiban pelaporan penyewa setiap 1x24 jam, yang sulit diterapkan di masyarakat urban yang kompleks dan dinamis. Larangan dan aturan ketat tersebut bisa menimbulkan resistensi jika tidak disertai edukasi dan stimulus ekonomi yang memadai.

Selain itu, banyak rumah kos menjadi sumber penghasilan utama warga, sehingga kebijakan yang terlalu ketat tanpa mempertimbangkan dinamika ekonomi lokal berpotensi menimbulkan kepatuhan semu atau bahkan penolakan. Oleh karena itu, implementasi kebijakan ini perlu lebih adaptif dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat agar dapat diterima dan berjalan efektif tanpa menimbulkan konflik sosial.

Secara keseluruhan, keberhasilan implementasi Perda No. 2 Tahun 2018 sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya yang mendukung, kesadaran masyarakat, serta keseimbangan antara pengaturan administratif dan kebutuhan ekonomi lokal. Pendekatan yang lebih inklusif dan edukatif diperlukan agar kebijakan ini dapat berjalan optimal di tengah kompleksitas masyarakat urban di Kabupaten Sidoarjo.

6. Sikap atau Disposisi Pelaksana

Sikap atau disposisi pelaksana merupakan faktor penting yang memengaruhi efektivitas implementasi kebijakan Penyelenggaraan Rumah Kos sesuai Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2018. Dari hasil penelitian di lapangan, Dinas Penanaman Modal dan PTSP Kabupaten Sidoarjo menunjukkan sikap yang sangat mendukung kebijakan ini. Hal ini dibuktikan dengan pemahaman yang baik terhadap isi Perda serta upaya mereka dalam memberikan pelayanan yang baik dan memudahkan proses perizinan bagi pemohon. Dinas ini juga aktif melakukan sosialisasi dan menyediakan sistem perizinan online melalui website Sippadu untuk mendukung kelancaran implementasi kebijakan.

Namun, sikap pelaksana di tingkat RT/RW berbeda. Banyak pelaksana di tingkat ini merasa bahwa Perda bersifat represif dan menambah beban administratif, sehingga mereka cenderung pasif dalam menegakkan aturan. Kesenjangan antara pemahaman terhadap perda dan keinginan untuk melaksanakannya cukup nyata di lapangan. Selain itu, tidak adanya sistem penghargaan atau insentif bagi pelaksana perda membuat komitmen mereka relatif rendah, yang pada akhirnya menghambat proses implementasi secara menyeluruh.

Dengan demikian, meskipun Dinas Penanaman Modal dan PTSP memiliki disposisi positif dan komitmen tinggi terhadap kebijakan, sikap kurang mendukung dari pelaksana di tingkat bawah menjadi salah satu kendala utama. Untuk meningkatkan efektivitas implementasi, diperlukan upaya memperbaiki motivasi dan memberikan insentif kepada pelaksana di tingkat desa agar mereka lebih aktif dan berkomitmen dalam menjalankan Perda Nomor 2 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Rumah Kos

Kelebihan dan Kelemahan Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 2 Tahun 2018

Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 2 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Rumah Kos memiliki sejumlah kelebihan yang patut diapresiasi. Secara yuridis, perda ini memiliki dasar hukum yang kuat dan menyeluruh, mulai dari UUD 1945 hingga undang-undang sektoral yang relevan, menunjukkan konsistensi vertikal yang kokoh. Selain itu, perda ini mengatur hak dan kewajiban secara rinci bagi tiga aktor utama pengusaha rumah kos, penyewa, dan masyarakat sekitar dengan menekankan pelaporan, ketertiban, dan partisipasi aktif. Pendekatan asas yang digunakan pun sarat nilai sosial lokal seperti kekeluargaan, kesusilaan, dan keseimbangan, yang selaras dengan budaya masyarakat Sidoarjo. Lebih jauh, keberadaan pasal yang membuka ruang partisipasi masyarakat serta mekanisme sanksi administratif yang bertingkat menunjukkan bahwa perda ini berusaha menciptakan tatanan yang tertib tanpa langsung bersifat represif, melainkan adaptif.

Namun demikian, perda ini juga memiliki sejumlah kelemahan substansial. Salah satunya adalah tidak adanya penjabaran teknis mengenai standar kelayakan rumah kos, baik dari sisi sanitasi, pencahayaan, maupun fasilitas minimum lainnya. Selain itu, mekanisme pengawasan masih terpusat pada peran formal pemerintah dan laporan masyarakat, tanpa skema kolaboratif yang memperkuat peran RT/RW sebagai garda terdepan. Di sisi lain, perda ini belum adaptif terhadap inovasi digital seperti pelaporan online atau sistem database kependudukan berbasis aplikasi. Ketentuan perizinan juga terlalu longgar karena hanya mewajibkan izin bagi rumah kos dengan minimal 10 kamar, sehingga banyak rumah kos kecil beroperasi tanpa kontrol formal. Terakhir, meskipun terdapat ketentuan sanksi administratif, perda ini tidak menjelaskan indikator atau prosedur penerapan sanksi secara rinci, yang berpotensi membuka celah bagi ketidakkonsistenan dalam penegakan aturan.

Kesimpulan dan Saran

Dalam kaca mata Hukum Administrasi Negara dan teori implementasi kebijakan Van Meter & Van Horn, Perda No. 2 Tahun 2018 telah memenuhi syarat formil sebagai regulasi publik. Namun dalam implementasinya, masih menghadapi tantangan pada aspek sumber daya, koordinasi, dan sikap pelaksana. Perlu evaluasi ulang terhadap desain kebijakan, terutama dalam hal pemberdayaan masyarakat, fleksibilitas aturan terhadap realitas lokal, serta penguatan peran institusi pengawas. Rekomendasi utama untuk perbaikan Perda Kabupaten Sidoarjo Nomor 2 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Rumah Kos menekankan pentingnya penyempurnaan regulasi agar lebih inklusif, efektif, dan berkeadilan. Pertama, batasan minimal 10 kamar perlu ditinjau ulang dan diperluas cakupannya agar seluruh jenis rumah kos, termasuk skala kecil, dapat terakomodasi dalam pengaturan hukum, mengingat potensi dampak sosial tidak hanya berasal dari kos berkapasitas besar. Kedua, pengawasan perlu diperkuat dengan koordinasi lintas Organisasi Perangkat Daerah (OPD) melalui pengembangan sistem digital yang terintegrasi, sehingga pelaksanaan dan pemantauan perda dapat berjalan lebih sistematis dan efisien. Ketiga, penting untuk memberikan insentif atau penghargaan bagi pemilik rumah kos yang mematuhi ketentuan, sebagai bentuk motivasi positif yang dapat mendorong kesadaran hukum secara sukarela. Terakhir, Perda ini juga perlu dilengkapi dengan pendekatan edukatif dalam pembinaan, tidak hanya bersifat represif, agar masyarakat dapat memahami dan menerima regulasi secara lebih partisipatif dan berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Van Meter, D. S., & Van Horn, C. E. (1975). The Policy Implementation Process, 6(4), 445–488. https://doi.org/10.1177/009539977500600404.

Agustino, Leo. (2008). Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.

Pemerintah Kabupaten Sidoarjo. (2018). Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Rumah Kos. https://peraturan.bpk.go.id/Details/121893/perda-kab-sidoarjo-no-2-tahun-2018. Diakses pada tanggal 12 Mei 2025.

Kementerian Investasi / BKPM. (2021). Data Perizinan Usaha Rumah Kos Kabupaten Sidoarjo melalui Sistem OSS. https://oss.go.id/. Diakses pada tanggal 12 Mei 2025.

Wiseman, B., & Wildavsky, A. (1973). Implementation: How Great Expectations in Washington are Dashed in Oakland. University of California. http://www.ucpress.edu/.

Kementerian Hukum dan HAM. (2011). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. https://peraturan.bpk.go.id/. Diakses pada tanggal 12 Mei 2025.

Pemerintah Daerah. (2015). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah. https://peraturan.bpk.go.id/. Diakses pada tanggal 12 Mei 2025.

Badan Pusat Statistik (BPS). (2025). Statistik Penduduk Kabupaten Sidoarjo Tahun 2014–2025. https://sidoarjokab.bps.go.id/. Diakses pada tanggal 12 Mei 2025.

ANALISIS KRITIS PERDA DARI SEGI HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

PAPER HUKUM ADMINISTRASI NEGARA (Analisis Kritis Peraturan Daerah  Nomor 2 Tahun 2018  Tentang Penyelenggaraan Rumah Kos : Tinjauan Hukum ...